Akhirnya bisa nulis lagi, terima kasih buat Rifki
yang karena kritiknya gue jadi tergerak buat nulis lagi. Hehe. Walaupun ada
beberapa tulisan tentang Roma yang belom ke post, dan beberapa dengan topik
lain yang selesai aja belom, tapi dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda
seraya menikmati hawa dingin malam yang hujan ini (tsaah) mati kita sedikit
berbicara tentang sepak bola.
Siapa yang punya twitter (dan aktif nge-tweet),
mendukung sebuah tim sepak bola, dan membuka lini masa twitter pada waktu waktu
primetime pertandingan bola saat weekend?
Banyak. Dari kesekian banyak orang tersebut siapa yang ga kenal @my_supersoccer
atau @bolatotal ? akun @my_supersoccer yang dulu (yang sekarang adminnya agak
ga jelas dan beda tipe omongan) bisa dibilang luar biasa, hanya dengan bermodal
sindiran dan cibiran doi bisa di follow oleh 400ribu orang pengguna twitter.
Sementara @bolatotal , walaupun fokus pada podcast
dan jurnal jurnal sepakbola-nya, pasti pada sering lihat juga bagaimana tweet tweet yang dilakukan seringkali
bernada sindiran yang sangat soft bagi tim atau pemain yang lagi flop. Kalau saja ada anak marketing coba bikin kajian tentang gaya
marketing kedua akun ini, gue yakin
mereka akan ngasih standing applause.
Belom lagi fenomena meme meme di @footy_jokes dan sebagainya 634.000
followers-nya, coba klik followers-nya
dan liat berapa followers dari
Indonesia? Banyak banget. Lalu apa masalahnya?
Jangan tutup mata bagaimana akun @my_supersoccer
me-retweet banyak pengguna twitter yang emosi akan tweet yang dibuat. Anehnya semakin
banyak yang terlalu responsif, semakin banyak followers-nya. Semakin banyak ketidak sukaan, semakin banyak rasa
suka kita akan akun tersebut. Aneh. Maka ketika berbicara tentang atmosfer,
berbicara tentang keseluruhan iklim, maka kita ga bisa melihat hanya dari
perspektif orang orang yang emosional dalam melihat sepak bola, namun juga dari
orang orang yang tidak emosional dalam melihat sepak bola. Tidak hanya di
sepakbola, di bola basket, baseball, american football, bahkan formula one rivalitas pasti muncul.
Kenapa rivalitas bisa muncul? Karena pada dasarnya olah raga itu mengadu 2
insan atau lebih. Ketika 2 insan diadu, dan ada penontonnya, even itu berupa
pertandingan karate antar anak SD, yang orang tua dari seorang anak tersebut
akan menjagokan anaknya yang akan melawan anak orang lain, maka, probabilitas
untuk muncul sebuah gesekan juga semakin nyata. Itulah olahraga. Itulah kenapa
suporter Barcelona melempar kepala babi ke arah Luis Figo di el classico, itulah kenapa setiap
pertandingan derby selalu panas, itulah kenapa wasit yang juga manusia, ketika
salah membuat keputusan hampir selalu dihujat. Karena seringkali yang melatar
belakangi rivalitas bukan hanya ikatan darah antara anak dan orang tua
sebagaimana analogi diatas, tapi seringkali masalah ideologi, politik, budaya
dan berjuta masalah lainnya.
Rivalitas seringkali muncul atas gesekan personal
yang merambat menjadi gesekan antar golongan sampai terus merambat pada entitas
yang lebih besar. Wajar seringkali kita merasakan rivalitas tim eropa hingga
kesini. Karena rambatannya mulai dari cerita teman, berita, hingga sejarah klub
sepakbola yang kita cari tau di internet, masuk ke otak kita mendoktrin setiap
pemikiran kita secara tidak disadari. Yap bener banget, secara tidak disadari,bahkan
oleh elo yang baca tulisan ini.
Apa hubungannya jokes twitter sama rivalitas? Jokes
jokes di twitter antar suporter
muncul dari rivalitas, meskipun rivalitasnya kecil seperti Roma terhadap Chievo
atau Chelsea terhadap Ipswich Town. Fenomena jokes jokes di twitter antar suporter adalah bentuk modern dari jokes jokes yang orang lain telah
lakukan antar suporter berpuluh puluh tahun yang lalu. Sesuatu yang kekal
bahkan gue rasa sampai industri sepakbola mati.
Lalu seberapa wajar? Adanya gesekan bukan berarti
legalisasi atas penimpukan mobil plat B oleh pendukung persib, bukan berarti
juga melegalkan penembakan suporter Lazio oleh suporter Roma. Gue setuju untuk
menjaga sportivitas dalam rivalitas. Benci boleh, membunuh yang ga boleh.
Maka dalam tulisan ini gue menyetujui apa yang
temen gue sarankan untuk menjaga setiap lisan dalam melakukan jokes. Namun yang juga harus jadi di
bold dan digarisbawahi adalah, kita ga boleh gelap mata dan melihat setiap jokes sebagai sebuah bentuk insult atas sebuah objek (tim maupun
pemain). Usaha mencegah seseorang untuk mengeluarkan jokes yang berlebihan juga harus setara dengan usaha untuk
memberikan sebuah pemahaman bagi orang orang yang gelap mata atau menutup
telinga atas realita rivalitas antar objek (tim maupun pemain). Gue tidak
jarang meminta maaf atas jokes
berlebihan (bahkan baru kemarin pasca Udinese –Roma) , tapi tidak jarang pula
melihat bagaimana teman teman gue di kampus mengeluarkan jokes jokes tentang sepakbola yang justru mempererat hubungan
pertemanan dan jadi sarana meningkatkan kedekatan antar personal.
Bagaimana batasan jokes yang tepat? Menilai hal tersebut bukan seperti menghitung
batasan lebar jalan yang ideal bagi sebuah jalan protokol ibukota yang dapat
dihitung dengan pendekatan matematis, namun hal tersebut didapat melalui
dinamika sosial. Trial and error
dalam melakukan jokes. Ada kalanya lo
harus berhenti bercanda, ada kalanya kita harus menambah porsi bercanda. Sebuah
dinamika sosial yang wajar dan gesekan dalam dinamika tersebut adalah hal yang
wajar sebagaimana teguran yang disampaikan seorang teman untuk temannya yang
lain.
Sepakbola tanpa rivalitas itu ga seru. Sebagaimana
suporter melakukan dukungan tanpa nge-chants.
Apakah chants sepakbola isinya cuma pujian
terhadap tim favorit? Nope. Chants
juga ditujukan bagi rival bertanding. Tinggal bagaimana kita melihat jokes/chants dari sisi yang lebih luas
dan lebih positif tanpa gelap mata melihatnya hanya sebagai sarana insulting your opponent.
Dari hujan hingga berhenti.
Andhika Putra Pratama
Senin, 28 Oktober 2013
Andhika Putra Pratama
Senin, 28 Oktober 2013