Senin, 28 Oktober 2013

Ekspresi Suporter : Joking or Insulting?

Akhirnya bisa nulis lagi, terima kasih buat Rifki yang karena kritiknya gue jadi tergerak buat nulis lagi. Hehe. Walaupun ada beberapa tulisan tentang Roma yang belom ke post, dan beberapa dengan topik lain yang selesai aja belom, tapi dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda seraya menikmati hawa dingin malam yang hujan ini (tsaah) mati kita sedikit berbicara tentang sepak bola.

Siapa yang punya twitter (dan aktif nge-tweet), mendukung sebuah tim sepak bola, dan membuka lini masa twitter pada waktu waktu primetime pertandingan bola saat weekend? Banyak. Dari kesekian banyak orang tersebut siapa yang ga kenal @my_supersoccer atau @bolatotal ? akun @my_supersoccer yang dulu (yang sekarang adminnya agak ga jelas dan beda tipe omongan) bisa dibilang luar biasa, hanya dengan bermodal sindiran dan cibiran doi bisa di follow oleh 400ribu orang pengguna twitter. Sementara @bolatotal , walaupun fokus pada podcast dan jurnal jurnal sepakbola-nya, pasti pada sering lihat juga bagaimana tweet tweet yang dilakukan seringkali bernada sindiran yang sangat soft bagi tim atau pemain yang lagi flop. Kalau saja ada anak marketing coba bikin kajian tentang gaya marketing kedua akun ini, gue yakin mereka akan ngasih standing applause. Belom lagi fenomena meme meme di @footy_jokes dan sebagainya 634.000 followers-nya, coba klik followers-nya dan liat berapa followers dari Indonesia? Banyak banget. Lalu apa masalahnya?

Jangan tutup mata bagaimana akun @my_supersoccer me-retweet banyak pengguna twitter yang emosi akan tweet yang dibuat. Anehnya semakin banyak yang terlalu responsif, semakin banyak followers-nya. Semakin banyak ketidak sukaan, semakin banyak rasa suka kita akan akun tersebut. Aneh. Maka ketika berbicara tentang atmosfer, berbicara tentang keseluruhan iklim, maka kita ga bisa melihat hanya dari perspektif orang orang yang emosional dalam melihat sepak bola, namun juga dari orang orang yang tidak emosional dalam melihat sepak bola. Tidak hanya di sepakbola, di bola basket, baseball, american football, bahkan formula one rivalitas pasti muncul. Kenapa rivalitas bisa muncul? Karena pada dasarnya olah raga itu mengadu 2 insan atau lebih. Ketika 2 insan diadu, dan ada penontonnya, even itu berupa pertandingan karate antar anak SD, yang orang tua dari seorang anak tersebut akan menjagokan anaknya yang akan melawan anak orang lain, maka, probabilitas untuk muncul sebuah gesekan juga semakin nyata. Itulah olahraga. Itulah kenapa suporter Barcelona melempar kepala babi ke arah Luis Figo di el classico, itulah kenapa setiap pertandingan derby selalu panas, itulah kenapa wasit yang juga manusia, ketika salah membuat keputusan hampir selalu dihujat. Karena seringkali yang melatar belakangi rivalitas bukan hanya ikatan darah antara anak dan orang tua sebagaimana analogi diatas, tapi seringkali masalah ideologi, politik, budaya dan berjuta masalah lainnya.


Rivalitas seringkali muncul atas gesekan personal yang merambat menjadi gesekan antar golongan sampai terus merambat pada entitas yang lebih besar. Wajar seringkali kita merasakan rivalitas tim eropa hingga kesini. Karena rambatannya mulai dari cerita teman, berita, hingga sejarah klub sepakbola yang kita cari tau di internet, masuk ke otak kita mendoktrin setiap pemikiran kita secara tidak disadari. Yap bener banget, secara tidak disadari,bahkan oleh elo yang baca tulisan ini.
Apa hubungannya jokes twitter sama rivalitas? Jokes jokes di twitter antar suporter muncul dari rivalitas, meskipun rivalitasnya kecil seperti Roma terhadap Chievo atau Chelsea terhadap Ipswich Town. Fenomena jokes jokes di twitter antar suporter adalah bentuk modern dari jokes jokes yang orang lain telah lakukan antar suporter berpuluh puluh tahun yang lalu. Sesuatu yang kekal bahkan gue rasa sampai industri sepakbola mati.

Lalu seberapa wajar? Adanya gesekan bukan berarti legalisasi atas penimpukan mobil plat B oleh pendukung persib, bukan berarti juga melegalkan penembakan suporter Lazio oleh suporter Roma. Gue setuju untuk menjaga sportivitas dalam rivalitas. Benci boleh, membunuh yang ga boleh.
Maka dalam tulisan ini gue menyetujui apa yang temen gue sarankan untuk menjaga setiap lisan dalam melakukan jokes. Namun yang juga harus jadi di bold dan digarisbawahi adalah, kita ga boleh gelap mata dan melihat setiap jokes sebagai sebuah bentuk insult atas sebuah objek (tim maupun pemain). Usaha mencegah seseorang untuk mengeluarkan jokes yang berlebihan juga harus setara dengan usaha untuk memberikan sebuah pemahaman bagi orang orang yang gelap mata atau menutup telinga atas realita rivalitas antar objek (tim maupun pemain). Gue tidak jarang meminta maaf atas jokes berlebihan (bahkan baru kemarin pasca Udinese –Roma) , tapi tidak jarang pula melihat bagaimana teman teman gue di kampus mengeluarkan jokes jokes tentang sepakbola yang justru mempererat hubungan pertemanan dan jadi sarana meningkatkan kedekatan antar personal.

Bagaimana batasan jokes yang tepat? Menilai hal tersebut bukan seperti menghitung batasan lebar jalan yang ideal bagi sebuah jalan protokol ibukota yang dapat dihitung dengan pendekatan matematis, namun hal tersebut didapat melalui dinamika sosial. Trial and error dalam melakukan jokes. Ada kalanya lo harus berhenti bercanda, ada kalanya kita harus menambah porsi bercanda. Sebuah dinamika sosial yang wajar dan gesekan dalam dinamika tersebut adalah hal yang wajar sebagaimana teguran yang disampaikan seorang teman untuk temannya yang lain.

Sepakbola tanpa rivalitas itu ga seru. Sebagaimana suporter melakukan dukungan tanpa nge-chants. Apakah chants sepakbola isinya cuma pujian terhadap tim favorit? Nope. Chants juga ditujukan bagi rival bertanding. Tinggal bagaimana kita melihat jokes/chants dari sisi yang lebih luas dan lebih positif tanpa gelap mata melihatnya hanya sebagai sarana insulting your opponent.


Dari hujan hingga berhenti.
Andhika Putra Pratama
Senin, 28 Oktober 2013