Selasa, 28 Mei 2013

Saya dan Pendapat Saya tentang Situasi KAI vs Pedagang. #KAIvsHumanity


Saya membuka niat menulis tulisan ini dengan mengucap Alhamdulillah sebagai bentuk rasa syukur saya diperkenankan oleh Allah SWT untuk berkuliah di Universitas Indonesia khususnya Fakultas Ekonomi. Sebuah Fakultas yang berisikan berjuta pendapat yang terbagi dalam berbagai sisi. Pro baik secara radikal, pro secara substansi, kontra secara substansi, kontra secara radikal, hingga moderat. Dari apa yang disampaikan mereka juga lah saya bisa menggunakan otak saya untuk berpikir, hati saya untuk merasa, dan mengkombinasikan keduanya dalam sebuah sikap yang saya percayai itu benar.

Tulisan ini hanya melanjutkan apa yang pernah saya tulis sebelumnya,hendaknya melihat dulu tulisan saya sebelumnya untuk lebih jauh membaca sikap hari ini. Yap hari ini adalah hari dimana puluhan mahasiswa kesiangan untuk ikut kelas pagi hari, ratusan orang yang hendak bekerja melalui jalan Margonda Raya terhambat, serta puluhan pedagang yang hendak digusur. Jelas, siapapun anak FE yang melihat situasi ini dapat melihat berapa kerugian pagi ini. Opportunity cost orang orang yang terbuang akibat situasi hari ini. Sikap ini sebetulnya juga hanya menyempurnakan apa yang saya tweet tadi malam.

Dari awal saya punya standing point bahwa kedua belah pihak (KAI dan Pedagang) mempunyai tuntutan masing masing, dan didalamnya terdapat pula asymmetric information yang menghubungkan kedua belah pihak tersebut. Apa yang menjadi dasar pemikiran saya adalah KAI telah lama melakukan pembiaran atas apa yang hari ini disebutnya ilegal, mengganggu kenyamanan, serta konon memiliki bergaining power berupa sebuah klausul yang menyatakan bahwa pihak KAI berhak untuk melakukan pengambil alihan lahan kelak. Lihat versi pedagang, konon pedagang juga memiliki klausul agar PT.KAI melakukan dialog sebelum penggusuran, pemberian waktu yang irasional (H-7 hingga H-1) untuk melakukan pengosongan kios (penggusuran beberapa bulan lalu), serta yang tidak bisa kita tutup matanya adalah aksi penggunaan preman di pagi buta dalam merobohkan kios di stasiun Pondok Cina. Sementara mahasiswa ikut hadir untuk memfasilitasi, pro terhadap penertiban, namun ingin memastikan ada hak hak yang tidak ternodai. Sayangnya peristiwa ikut pemblokiran rel (entah siapa yang memulai) membuat sebagian orang memicingkan mata atas apa yang dilakukan mahasiswa.

Secara hukum, saya tidak bisa menilai siapa yang lebih benar, karena seperti yang saya bilang semalam, mencari tau siapa yang benar di tengah suspect kesalahan yang menghinggapi kedua belah pihak sama seperti sebuah partai korup yang beralibi, partai lain lebih korup dibanding mengakui partainya korup.
Apa sikap saya? Mustahil KAI melakukan relokasi seperti yang menjadi tuntutan pedagang. Based on perhitungan kakak kelas saya, cost nya bisa Milyaran. Tidak mungkin KAI mau. Pedagang? Jika saja mau berkompromi sebetulnya tidak etis juga meminta relokasi dan ganti rugi yang pas jika pembuktian bahwa perjanjian mereka adalah perjanjian yang sah, bukan dari makelar, atau pihak ketiga susah untuk dibuktikan. Karena toh pernah ada yang berkicau bahwa sudah jadi rahasia umum banyak negosiasi sewa lahan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab. Lagi lagi KAI punya andil disini melakukan pembiaran mafia sewa kios. Satu lagi dosa KAI yang belum saya sebut adalah konon tidak adanya itikad baik untuk duduk bersama berdiskusi masalah ini. Wallahu alam bis sawwab.

Win win solution? Atas eksternalitas negatif yang dilakukan KAI, hendaknya KAI memberikan tenggat waktu sebagai social cost perbuatannya. Yang bukan H-7 atau H-1. Pedagang juga sudah mulai mencari lahan baru untuk berjualan (yang jelas tidak mudah mencarinya) semenjak tahu permasalahan ini akan naik ke permukaan. Berbau kompromi? Jelas. Semua pihak harus tahu diri bahwa KAI punya bargaining power kuat dan didukung segenap pengguna commuter line. Jalan terbaik adalah saling menurunkan tuntutannya.
Sempat redupnya kasus ini yang di tanggal 21 Mei sempat gue indikasikan sebagai jalan KAI untuk secara tidak langsung menyediakan social cost berupa waktu untuk pedagang melakukan relokasi. Yang menyedihkan hal ini dilakukan secara tidak langsung, bukan secara langsung dan dua arah. Lagi lagi ada kesewenangan disini. Be rational, KAI memiliki bargaining power kuat.  Maka hendaknya disini ada peran mahasiswa yang 2 arah. Advokasi terhadap KAI dan mempersiapkan kemungkinan terburuk yaitu relokasi mandiri (inisiasi ka Alia Noor). Andai saja ini dilanjutkan. Hari ini tidak akan terjadi.

Tapi nasi sudah jadi bubur. Semua pihak memiliki potensi kesalahan. Sekarang gimana caranya mengubah bubur jadi lebih enak. Memberikan perhatian yang lebih untuk semua pihak. Mengawal progresivitas KAI yang terus baik (kita ga bisa menutup mata atas perbaikan KAI di kereta lintas Jawa), serta mengawal para pedagang dan memastikan mereka mendapat tempat baru yang layak. Sayang jika pertumbuhan negeri ini harus ternodai dengan bentrokan hari ini yang (semoga) tidak terjadi. 


Andhika Putra Pratama
Rabu, 29 Mei 2013
10:15