Saya membuka niat menulis tulisan ini dengan mengucap Alhamdulillah sebagai bentuk rasa syukur saya diperkenankan oleh Allah SWT untuk berkuliah di Universitas Indonesia khususnya Fakultas Ekonomi. Sebuah Fakultas yang berisikan berjuta pendapat yang terbagi dalam berbagai sisi. Pro baik secara radikal, pro secara substansi, kontra secara substansi, kontra secara radikal, hingga moderat. Dari apa yang disampaikan mereka juga lah saya bisa menggunakan otak saya untuk berpikir, hati saya untuk merasa, dan mengkombinasikan keduanya dalam sebuah sikap yang saya percayai itu benar.
Tulisan ini hanya melanjutkan apa yang pernah saya tulis
sebelumnya,hendaknya melihat dulu tulisan saya sebelumnya untuk lebih jauh
membaca sikap hari ini. Yap hari ini adalah hari dimana puluhan mahasiswa
kesiangan untuk ikut kelas pagi hari, ratusan orang yang hendak bekerja melalui
jalan Margonda Raya terhambat, serta puluhan pedagang yang hendak digusur.
Jelas, siapapun anak FE yang melihat situasi ini dapat melihat berapa kerugian
pagi ini. Opportunity cost orang orang yang terbuang akibat situasi hari ini. Sikap
ini sebetulnya juga hanya menyempurnakan apa yang saya tweet tadi malam.
Dari awal saya punya standing point bahwa kedua belah pihak (KAI dan
Pedagang) mempunyai tuntutan masing masing, dan didalamnya terdapat pula
asymmetric information yang menghubungkan kedua belah pihak tersebut. Apa yang
menjadi dasar pemikiran saya adalah KAI telah lama melakukan pembiaran atas apa
yang hari ini disebutnya ilegal, mengganggu kenyamanan, serta konon memiliki
bergaining power berupa sebuah klausul yang menyatakan bahwa pihak KAI berhak
untuk melakukan pengambil alihan lahan kelak. Lihat versi pedagang, konon pedagang
juga memiliki klausul agar PT.KAI melakukan dialog sebelum penggusuran, pemberian
waktu yang irasional (H-7 hingga H-1) untuk melakukan pengosongan kios
(penggusuran beberapa bulan lalu), serta yang tidak bisa kita tutup matanya
adalah aksi penggunaan preman di pagi buta dalam merobohkan kios di stasiun
Pondok Cina. Sementara mahasiswa ikut hadir untuk memfasilitasi, pro terhadap
penertiban, namun ingin memastikan ada hak hak yang tidak ternodai. Sayangnya
peristiwa ikut pemblokiran rel (entah siapa yang memulai) membuat sebagian
orang memicingkan mata atas apa yang dilakukan mahasiswa.
Secara hukum, saya tidak bisa menilai siapa yang lebih benar, karena
seperti yang saya bilang semalam, mencari tau siapa yang benar di tengah
suspect kesalahan yang menghinggapi kedua belah pihak sama seperti sebuah
partai korup yang beralibi, partai lain lebih korup dibanding mengakui
partainya korup.
Apa sikap saya? Mustahil KAI melakukan relokasi seperti yang menjadi
tuntutan pedagang. Based on perhitungan kakak kelas saya, cost nya bisa
Milyaran. Tidak mungkin KAI mau. Pedagang? Jika saja mau berkompromi sebetulnya
tidak etis juga meminta relokasi dan ganti rugi yang pas jika pembuktian bahwa
perjanjian mereka adalah perjanjian yang sah, bukan dari makelar, atau pihak
ketiga susah untuk dibuktikan. Karena toh pernah ada yang berkicau bahwa sudah
jadi rahasia umum banyak negosiasi sewa lahan yang dilakukan oleh pihak ketiga
yang tidak bertanggung jawab. Lagi lagi KAI punya andil disini melakukan pembiaran
mafia sewa kios. Satu lagi dosa KAI yang belum saya sebut adalah konon tidak
adanya itikad baik untuk duduk bersama berdiskusi masalah ini. Wallahu alam bis
sawwab.
Win win solution? Atas eksternalitas negatif yang dilakukan KAI, hendaknya
KAI memberikan tenggat waktu sebagai social cost perbuatannya. Yang bukan H-7
atau H-1. Pedagang juga sudah mulai mencari lahan baru untuk berjualan (yang
jelas tidak mudah mencarinya) semenjak tahu permasalahan ini akan naik ke
permukaan. Berbau kompromi? Jelas. Semua pihak harus tahu diri bahwa KAI punya
bargaining power kuat dan didukung segenap pengguna commuter line. Jalan
terbaik adalah saling menurunkan tuntutannya.
Sempat redupnya kasus ini yang di tanggal 21 Mei sempat gue indikasikan
sebagai jalan KAI untuk secara tidak langsung menyediakan social cost berupa
waktu untuk pedagang melakukan relokasi. Yang menyedihkan hal ini dilakukan
secara tidak langsung, bukan secara langsung dan dua arah. Lagi lagi ada
kesewenangan disini. Be rational, KAI memiliki bargaining power kuat. Maka hendaknya disini ada peran mahasiswa
yang 2 arah. Advokasi terhadap KAI dan mempersiapkan kemungkinan terburuk yaitu
relokasi mandiri (inisiasi ka Alia Noor). Andai saja ini dilanjutkan. Hari ini
tidak akan terjadi.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Semua pihak memiliki potensi kesalahan. Sekarang
gimana caranya mengubah bubur jadi lebih enak. Memberikan perhatian yang lebih
untuk semua pihak. Mengawal progresivitas KAI yang terus baik (kita ga bisa
menutup mata atas perbaikan KAI di kereta lintas Jawa), serta mengawal para
pedagang dan memastikan mereka mendapat tempat baru yang layak. Sayang jika
pertumbuhan negeri ini harus ternodai dengan bentrokan hari ini yang (semoga)
tidak terjadi.
Andhika Putra Pratama
Rabu, 29 Mei 2013
10:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar