Selasa, 11 Desember 2012

Memutuskan Untuk Turun


AKSI.
Sebuah kata yang heroik bagi sebagian mahasiswa.
Namun juga menjadi sebuah kalimat yang menyebalkan bagi sebagian mahasiswa.
Kenapa?

Mahasiswa, dalam hal ini sampel saya adalah Universitas Indonesia, terbagi dalam dua pihak dalam menyikapi keputusan unuk melakukan AKSI. Setuju atau Tidak Setuju. Adakah yang salah? Pihak pro atau kontra? Penyikapannya sangat tergantung dengan apa yang terjadi di lapangan. Terlalu naif untuk berkata mahasiswa tidak butuh AKSI. Sejarah di tahun 1998 akan menjadi tameng besar bagi mereka yang hanya memiliki alasan tersebut. Pada tahun itu, mahasiswa seluruh Indonesia memiliki musuh yang sama, para penguasa orde baru, yang pada saat itu secara terang terangan menutup mulut rakyat, menekan rakyat, yang di-cover dengan pembangunan ekonomi berlandaskan hutang luar negeri. Setidaknya itu yang saya dapatkan ketika bertanya ke mayoritas orang (walaupun para ekonom, mahasiswa ekonomi akan sangat tidak setuju jika dikatakan pembangunan dengan hutang adalah hal yang sia-sia, termasuk saya, termasuk pula Sri Edhi Swasono). Apa yang terjadi dengan pergerakan mahasiswa pada saat itu, sangat frontal karena tidak ada wadah yang memungkinkan menerima pendapat mereka. Musuh mereka sama, memberhentikan ketidak-adilan apapun caranya, at any cost.

Mari putar waktu ke era dimana kita berdiri saat ini. Kenapa harus ada demonstrasi, kenapa harus ada AKSI, dan kenapa harus bernama “AKSI”. Kita dapat break-down menjadi beberapa alasan, mulai dari yang hard reason, hingga soft reason.
a. AKSI adalah bentuk pengabdian mahasiswa kepada rakyat yang membiayai kuliah mereka.
Anggapan ini benar, namun apa yang ada di benak masyarakat ketika mereka melihat mahasiswa justru menghancurkan fasilitas umum yang dibeli dengan uang rakyat. Mahasiswa justru ricuh di balkon ruang paripurna DPR, ketika para wakil rakyat ingin memutuskan seberapa pantas harga BBM naik. Rakyat mana yang bangga?

b. Ketika mahasiswa turun ke jalan, adalah sebuah sinyal hati hati bagi pemerintah, karena ada sesuatu yang genting sedang melanda bangsa ini.
Seberapa genting bangsa ini, ketika ada seruan AKSI untuk menurunkan SBY dalam rangka 3 tahun (8tahun total), pemerintahan SBY? Keadaan yang begitu kondusif seperti sekarang, yang merupakan hasil kerja keras para pemimpin negara untuk men-stabil-kan kondisi negeri agar tidak kembali terulang seperti 1998? Bukankah dengan menurunkan SBY hanya akan membangun negeri ini kembali dari 0? Siapa yang mau gantikan SBY ketika yang tersedia hanyalah Wapres Boediono, Abu Rizal Bakrie, Prabowo Subianto, atau kembali ke zaman Megawati Soekarno Putri? Tidakkah ada kajian kausalitas yang dilakukan?

c. AKSI dilakukan ketika perjuangan lewat kajian tidak menemui jalan keluar.
Bohong jika tidak ada wadah bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat, karena BEM FE UI berkali kali berhasil berdiskusi dengan anggota DPR untuk masalah APBN. Yang jadi pertanyaan adalah seberapa besar kita dapat mengutarakan rasionalisasi alasan, mendebat hingga akhir, dan memanfaatkan wadah tersebut sebaik mungkin. Bukan kembali ke cara lama yang sarkastis, seolah tidak ada wadah untuk melakukan diplomasi. Dan satu hal, bersabar menerima proses.

d. AKSI adalah bentuk kepedulian mahasiswa, kepada pemerintah selaku penanggung jawab negeri ini.
Tepat. Sayangnya terkadang bentuknya salah. Apresiasi besar bagi BEM UI yang menunjukkan secara jelas bagaimana AKSI seharusnya dikemas. Flash mob, menerbangkan layangan, teatrikal dan lain sebagainya. AKSI dorong dorongan dengan polisi, satpam DPR hanya akan adalah lembaran lama yang asumsi kejadiannya-pun  berada dalam kondisi yang berbeda.

e. Kenapa harus bernama AKSI?
kata “AKSI” terkesan heroik bagi sebagian orang yang hidupnya mudah tersulut heroisme. Hanya saja, jika hanya mengandalkan orang orang yang memiliki jiwa heroik, kapan AKSI akan ramai? Bukan kah tujuan AKSI adalah pergerakan mahasiswa? Menggerakkan setiap elemen mahasiswa. Bukan sebagian mahasiswa. Secara kasar, saya katakan, mereka yang mudah tersulut api heroisme adalah mereka yang menyikapi AKSI secara inelastis, tidak usah takut orang orang tersebut memutuskan untuk tidak ber-AKSI ketika nama “AKSI” kita ubah.

Tulisan ini tidak dibuat untuk menyudutkan AKSI pergerakan mahasiswa. Saya sendiri ikut langsung dalam AKSI memperingati Hari Anti Korupsi yang dilakukan BEM UI kemarin. 9.12. Namun yang disayangkan, yang hadir hanya 1/10 dari target. 200an orang dari target 2000-an (konon). Sangat timpang jika dibandingkan dengan ragam sosialisasi eye catching tentang 9.12. Masih menyalahkan ketidakpedulian mahasiswa? Saatnya introspeksi tentang branding dari AKSI itu sendiri.

Ada beberapa pilihan nama yang dapat digunakan untuk mengganti kata “AKSI”. Sebagai contoh, AKSI Hari Anti Korupsi kemarin, kenapa tidak berbunyi Kampanye Hari Anti Korupsi, Gerakan Hari Anti Korupsi, atau apalah itu asal bukan AKSI, asal tidak berbabau sarkastis, agar terlihat soft, bersifat mengajak, bukan membentak seolah kita seharusnya sadar.

Memutuskan untuk melakukan AKSI adalah hak setiap orang. Keputusan untuk melabeli, mereka yang tidak mengikuti AKSI sebagai mahasiswa yang tidak peduli adalah pencorengan nama baik. Setiap orang memiliki asumsi cost dan benefit masing masing. Yang harusnya menjadi pertanyaan adalah bagaimana meninggikan benefit seorang mahasiswa untuk turun, bergerak untuk menyampaikan pesan tanpa harus takut dibayangi oleh kengerian demonstrasi, dorong dorongan, atau baku hantam dengan polisi.

Kita sadar, hari ini jauh lebih baik dari tanggal yang sama 14-15 tahun yang lalu.
Apakah mungkin kita benar benar resah, atau mungkin kita hanya tergesa-gesa menilai kondisi hari ini?
Manusia tidak dapat membuat candi terbaik dalam 1 malam, apalagi membuat negeri dengan masalah yang multi-dimensional ini kembali layak untuk disebut negeri.
Jangan jangan kita kurang bersabar, atau kurang bersyukur?
Haruskah kita AKSI?J

“..mungkin saja, ketika segala sarana untuk menyampaikan pendaat telah berjalan dengan baik, AKSI demonstrasi mahasiswa hanya akan menjadi romantisme masa lalu belaka..”
(anonymous)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar